Yngwie Malmsteen, Faster than the Speed of Light!



Bagi kebanyakan orang Indonesia, namanya sulit diucapkan. Padahal, di akhir tahun 1980-an lagu-lagunya sudah kerap diputar di sejumlah radio yang terdapat di kota-kota besar di Indonesia. Di Jakarta, misalnya, hampir setiap malam minggu radio Suara Kejayaan, sebuah radio humor yang sangat popular di kalangan anak muda, tidak pernah absen untuk memutar lagu-lagu yang dibawakan Yngwie dan bandnya, Rising Force. Sejumlah lagu dari beberapa album yang ia telurkan seperti Rising Force,  Marching Out, Trilogy, atau Odyssey begitu akrab di telinga penggemar musik rock. Bahkan Radio Mustang yang menyajikan program yang bertajuk Rock N Rhythm selalu dibanjiri dengan  permintaan untuk memutarkan lagu-lagu Yngwie dan bandnya itu secara eksklusif.

Mengapa laki-laki kelahiran Swedia pada tanggal 30 Juni 1963 ini tampak begitu spesial di mata penggemar rock pada akhir tahun 1980-an? Sejak kehadirannya bersama band Steeler dan band Alcatraz pada tahun 1983-1984, Yngwie Malmsteen telah mencuri perhatian mereka. Ia menampilkan sebuah hal yang baru, yang tidak ditemukan di dalam diri Eddie van Halen, yaitu penggabungan antara kecepatan dan harmonisasi dalam style rock neoklasikal yang begitu indah. Jari-jemarinya terlihat begitu lincah dan cepat. Seolah jari-jemari itu sedang menari atau melakukan sebuah aksi akrobatik yang begitu rumit. Dengan gitar Fender Stratocoaster yang ia sandang, ia begitu memesona baik dalam lagu-lagu yang super cepat maupun lagu-lagu balada yang begitu mendayu.

Namun, kehadiran Yngwie di skena music rock Amerika pada awal tahun 1980-an itu bukanlah sebuah kebetulan. Kehadirannya tidak dapat dilepaskan dari jasa seorang impresario yang bernama Mike Verney. Ia adalah seorang produser musik di Shrapnel Records dan sekaligus seorang pencari bakat yang sangat jeli. Di bawah label Shrapnel Records ini, Mike Verney juga mengorbitkan sejumlah shredder, gitaris yang memiliki kemampuan handal seperti Marty Friedman, Jason Becker, Paul Gilbert, Vinnie Moore, Tony MacAlpine, atau Richie Kotzen.

Akan tetapi, dibandingkan para shredder itu, Yngwie Malmsteen adalah figur yang paling fenomenal. Pada tahun 1986, album perdananya yang berjudul Rising Force pernah menjadi nominator dalam ajang Grammy Award untuk  Best Rock Instrumental Performance. Pada saat itu, ia harus bersaing dengan sejumlah dewa gitar lainnya seperti Jeff Beck, Stevie Ray Vaughn, atau John Butcher Axis. Kendati Yngwie tidak menjadi pemenang dalam ajang itu, pada tahun 2009, Guitar World Magazine menobatkan album Rising Force sebagai album shred terbaik sepanjang masa.

Pada akhir tahun 1980-an, skena musik rock sungguh-sungguh dijangkiti demam Yngwie. Semua gitaris dari segala penjuru dunia berlomba-lomba untuk meniru gaya sang virtuoso. Di sejumlah festival rock yang diadakan di beberapa kota besar, teknik arpeggio dan sweep picking a la  Yngwie menjadi semacam standar yang harus dikuasai para gitaris jika mereka ingin dinobatkan sebagai gitaris terbaik. Imaji Yngwie sebagai seorang guitar hero pun kian begitu dekat dengan penggemar musik rock di tanah air ketika pada tahun 1990, Setiawan Djody dan AIRO Production mengundang Yngwie dan bandnya untuk mengadakan konser di Solo dan Surabaya. Kebetulan pada saat itu, Yngwie memang sedang mempromosikan albumnya yang terbaru, Eclipse. Di Solo, konser yang diadakan di Stadion Sri Wedari berjalan lancar dan meriah, tetapi di Surabaya, konser yang diadakan di Stadion Tambaksari, kacau balau karena hujan jatuh dengan sangat lebat. Pertunjukkan pun dihentikan di tengah-tengah acara. Yngwie marah dan penonton pun kecewa.

Ya, Yngwie memang dikenal sebagai pribadi eksentrik yang mudah meledak. Dia juga dipandang arogan. Hal itu jugalah yang membuat formasi personil bandnya berganti-ganti dengan sangat cepat. Secara musikal, Yngwie sangat jenius, tetapi secara sosial, ia kadang bersikap otoriter sehingga tidak mampu bertoleransi dengan keterbatasan personil yang lain demi pencapaian kesempurnaan. Ia juga tidak mampu membangun hubungan afeksi yang baik dengan beberapa perempuan yang pernah hidup bersamanya. Dua kali pernikahannya kandas dan meninggalkan luka yang dalam.

Namun, perjalanan waktu ternyata mampu memberikan perspektif yang baru bagi sang dewa gitar. Pada pertengahan tahun 1990-an, skena musik rock yang dipenuhi dengan aksi akrobat para shredder mulai bergeser dan digantikan oleh Seattle Sound dan grunge yang ekspresif dan kasar. Selera pasar mulai berubah dengan sangat cepat. Banyak gitaris tidak lagi mempertontonkan keahliannya. Kendati begitu, Yngwie masih begitu produktif untuk meluncurkan sejumlah album. Celakanya, album-albumnya itu sudah tidak lagi diperhitungkan di Amerika dan Inggris. Bahkan sejak tahun 1998, Swedia, kampung halamannya, tidak lagi meletakkan album-album barunya di posisi yang terhormat.

Situasi yang tidak menguntungkan ini ternyata membawa perubahan dan blessing in disguise bagi Yngwie. Ia tidak lagi tampil sebagai sosok rock star yang pongah, temperamental, dan arogan. Ia mulai sering tampil dalam satu panggung bersama dengan beberapa shredder tahun 80-an seperti Steve Vai, Joe Satriani, Zakk Wylde, atau Nuno Bettencourt, yang pada masa lalu pernah dianggap sebagai rivalnya. Bersama mereka, Yngwie tidak lagi tampil dominan, tetapi turut menciptakan harmoni musik yang indah. Dan bahkan beberapa kali, melalui video rekaman yang diunggah ke Yotube, kita dapat melihat bagaimana Yngwie dan bandnya kini kerap bermain di sejumlah gigs, konser musik, yang berskala kecil. Konser-konser itu terasa membosankan karena dipenuhi oleh sejumlah penonton yang malas dan tidak antusias. Komentar pedas kerap juga dilayangkan oleh para netizen yang juga menyaksikan video itu. Mereka memandang Yngwie sebagai seorang gitaris eksentrik yang mulai menua. Mereka sama sekali tidak mampu merasakan bagaimana melodi-melodi yang dimainkan Yngwie itu pernah menjadi ukuran yang ultimat pada masanya.

Namun, di atas panggung-panggung itu, Yngwie Malmsteen tetaplah seorang virtuoso yang mumpuni. Meski ia tidak muda lagi, energinya masih terlihat sama. Ia masih kerap melakukan aksi akrobat yang luar biasa. Melempar, memutar, dan menangkap gitarnya kembali dengan sempurna. Ia masih memainkan jari jemarinya, lebih cepat daripada cahaya.     

26 September 2020

Paul Heru Wibowo

Sumber gambar:  https://id.pinterest.com/pin/553309504188796758/    

 

    

 

   

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gary Moore dan Sebuah Ruang yang Kosong

Slash, Sang Sweet Child