Ritchie Blackmore: Ksatria Gitar dan Hutan Kesunyian
Namanya
jarang disebut akhir-akhir ini. Bahkan, namanya kerap tidak ditemukan dalam
daftar para gitaris yang berpengaruh. Pada
tahun 1995, misalnya, majalah Guitar
World tidak mencantumkan namanya sebagai salah satu gitaris terkenal. Bahkan
beberapa tahun lalu Josh Tyrangiel, kritikus musik majalah TIME, pun tidak
menominasikannya sebagai salah satu dari The
10 Greatest Electric-Guitar Player (lihat “The 10 Greatest Electric-Guitar
Player,” http://content.time.com/time/photogallery/0,29307,1916544_1921910,00.html
). Padahal peran dan sumbangsihnya dalam panggung musik rock pada tahun 1970-an
dan 1980-an tidak dapat dikatakan kecil.
Dalam
amatan saya, ia menjadi salah satu virtuoso
yang mampu membuktikan kepada publik musik bahwa solo gitar adalah bagian terpenting
dalam sebuah konser rock. Setidaknya hal itu pernah dilakukannya ketika masih
bergabung sebagai salah satu anggota band legendaris, Deep Purple. Di sela-sela konser band yang didirikan di Inggris
pada akhir tahun 1960-an itu ia selalu
memiliki kesempatan untuk mempertontonkan keahliannya mengulik melodi selama 15
menit di hadapan fansnya dan membiarkan teman-temannya menunggunya sampai
selesai. Inilah yang membuatnya dipuja sebagai dewa gitar tiada tara!
Ya, pesona
Ritchie Blackmore sebagai seorang gitaris jelas tidak dapat disangkal. Sejumlah
lagu Deep Purple seperti Smoke on the
Water, Burn, Soldier of Fortune, Child in Time, atau Highway Star memang tidak dapat dipisahkan dari kejeniusan musikal
yang dimiliki Jon Lord, sang organis, tetapi juga berhutang pula pada karisma
Blackmore. Selain aksi panggungnya yang menghebohkan, melodi lagu-lagu yang
diciptakannya pun terdengar begitu menggetarkan. Pada masanya, lagu-lagu yang
ditampilkan Blackmore dan Deep Purple itu hadir sebagai sebuah terobosan baru
dalam industri musik rock. Di hadapan Deep Purple yang ingar-bingar, lagu-lagu
rock’n’roll a la The Beatles
seolah-olah menjelma sebagai lagu-lagu pengantar tidur.
Tidak dapat
disangkal bahwa lagu-lagu tersebut kini dinobatkan sebagai lagu rock klasik.
Kendati begitu, lagu seperti Soldier of
Fortune tidak hanya dikenang sebagai lagu bergenre balada rock, tetapi juga
dipahami sebagai sebuah model repertoire
dalam industri musik pop. Pada pertengahan tahun 1980-an, misalnya, industri musik
pop Indonesia sempat mengangkat model repertoire
tersebut melalui lagu-lagu balada rock yang dinyanyikan lady rockers seperti Nike Ardila, Inka Christie, Cut Irna, Popy
Mercury, atau Lady Avisha. Bukanlah kebetulan, kebanyakan lagu tersebut
diciptakan oleh Dedy Dorres, mantan gitaris rock era tahun 1970-an, yang ditahbiskan
oleh majalah Aktuil sebagai Richie Blackmore-nya Indonesia. Kendati tidak lagi
berkibar di blantika musik pop Indonesia, struktur lagu balada rock seperti itu
masih hadir dalam industri musik rock Melayu di Malaysia sampai saat ini.
Virtuosity yang ditunjukkan Blackmore pada tahun 1970-an itu tak ayal menjadi inspirasi bagi banyak gitaris hebat seperti Randy Rhoads, Yngwie Malmsteen, Richie Sambora, Janick Gers, dan Paul Gilbert. Di Indonesia pesona Blackmore dan Deep Purple pun merembes kepada beberapa grup rock Indonesia era tahun 1970-an seperti God Bless dan bahkan kepada Rhoma Irama bersama Sonetanya. God Bless pernah ditunjuk sebagai band pembuka konser Deep Purple pada tanggal 4 Desember 1975 di Jakarta. Sayang, pada saat itu, Deep Purple telah ditinggalkan Ian Gillian, sang vokalis, Robert Glover, sang basis, dan Blackmore. Kendati Blackmore tidak hadir, 80 ribu sampai 150 ribu penonton konser yang memadati Istora Senayan itu tetap mengelu-elukan namanya! Sayang, konser itu sendiri tercatat sebagai sebuah tragedi bagi Deep Purple. Bukan hanya karena pada saat itu konser dipenuhi aksi dorong-mendorong yang cukup mencekam antara 6000 aparat keamanan dengan para penonton atau God Bless menyanyikan lagu-lagu mereka yang memiliki kemiripan dengan lagu-lagu Deep Purple, tetapi karena Patsy Collins, bodyguard Tommy Bollin, gitaris pengganti Blackmore, ditemukan tewas di hotel!
Perceraian
Blackmore dan Deep Purple pada tahun 1975 pun menjadi sebuah berita besar bagi
para penggemar musik rock di Jakarta dan Bandung. Tidak dapat disangkal bahwa
pada masa itu berita tersebut seolah-olah lebih penting dibandingkan persoalan ekonomi
dan sosial Orde Baru di tahun itu sebagaimana dikabarkan majalah Aktuil. Kendati
Blackmore kemudian mendirikan band baru bernama Rainbow bersama Ronnie James
Dio sebagai vokalis, hengkangnya Blackmore dari Deep Purple telah menjadi
sebuah mitos mengenai persahabatan yang retak.
Meski mampu
menghadirkan formula musik yang khas dan unik bersama Rainbow, Blackmore merasa
jenuh. Majalah Rolling Stones mencatat bahwa hal ini disebabkan oleh kejenuhan
Blackmore untuk menghidupi musik blues dan klasik yang menjadi ciri khas
Rainbow. Setelah bercerai dengan Rainbow
pada tahun 1984, Blackmore sempat bergabung kembali dengan Deep Purple. Selama
beberapa tahun mereka kembali melakukan tour dan merekam The House of Blue Light (1987) dan Slaves and Masters (1990). Kendati begitu, selama beberapa tahun
itu, pertengkaran demi pertengkaran di antara Blackmore dan anggota-anggota
lain mewarnai kehidupan Deep Purple. Lagi-lagi dengan alasan yang tidak jelas,
ia pun meninggalkan band itu di tahun 1993 menjelang sejumlah tour yang harus
mereka selesaikan. Sikap egois Blackmore ini secara tidak langsung telah menorehkan
kembali luka di hati mereka. Sampai saat ini, hubungan Blackmore dengan
beberapa anggota Deep Purple yang masih tersisa pun masih belum dapat
diperbaiki. (lihat http://www.blabbermouth.net/news/deep-purples-ian-paice-doesnt-think-he-still-has-a-friendship-with-ritchie-blackmore/
Ya, di
balik pakaian berwarna hitam yang kerap dikenakannya, Ritchie Blackmore hadir
sebagai ksatria gitar yang sangat misterius. Langkah karirnya kerap tidak dapat
dipahami mereka yang mengenalnya. Kehidupan cinta dan perkawinannya pun dipenuhi
oleh kisah perceraian dan perselingkuhan yang tiada henti. Namun, ia tampak
tidak begitu peduli dengan semua itu. Blackmore seolah-olah hidup dalam sebuah
negeri dongeng dimana ia menjadi satu-satunya lakon utamanya di sebuah hutan
kesunyian. Ya, di balik melodi-melodi, entah yang ingar-bingar, meliuk-liuk,
berteriak, atau menyayat hati, yang ia mainkan, saya melihat sebuah figur yang
hidup dalam kesunyian dan kehampaan. Ya di balik melodi-melodi itulah, ksatria
gitar itu sedang berdialog dengan kesunyiannya. Dengan cara itu ia dapat
menyembunyikan dirinya. Tapi entah, ia sembunyikan dari apa.
Saya
melihat bahwa saat ini Blackmore seolah-olah sedang menghapus ingatan orang
akan kebesaran dirinya di masa lalu. Bersama
dengan kekasihnya Candice Night dan band folk
rock yang dibentuknya, Blackmore’s Night, ia lahir baru sebagai seorang bard, story teller, pencerita di abad pertengahan dari satu tempat ke
tempat lain. Ia tidak lagi hadir lagi sebagai seorang ksatria gitar yang
meraungkan pemberontakan atas kenyataan hidup sehari-hari. Blackmore kini lebih
banyak bercengkerama dengan syair-syair cinta. Itulah mengapa Blackmore tidak
dapat ditemui lagi di konser-konser besar. Ia pun sudah begitu jarang menenteng
pedang bertuahnya, Fender Stratocoaster. Ia telah menggantinya dengan gitar
akustik dan lute, gitar dari abad pertengahan. Tampaknya gitaris 69 tahun itu
telah menemukan kehidupan yang ia cari selama ini. Ya, sang ksatria telah
kembali ke rumahnya. Ia telah ditaklukkan oleh seorang puteri nan jelita. Untuk
sementara waktu? Semoga tidak.
Terus
berkarya Tuan Blackmore. Terus bercerita, Tuan Bard. Semoga syair cinta abad
pertengahan yang Blackmore’s Night dengungkan dapat membawa perdamaian bagi
dunia saat ini.
Sumber
gambar: www.forum.metroamp.com, www.thehighwaystar.com
Komentar
Posting Komentar