Jason Becker : Energi Kehidupan


“I have Amyotrophic Lateral Sclerosis. It has crippled my body and speech, but not my mind.”

Alkisah pada akhir tahun 1980-an, panggung rock dunia sempat dibuat terpana oleh kehadiran seorang gitaris muda. Parasnya menarik dan umurnya masih sangat muda, 16 tahun! Namun, di usia yang begitu belia, pamornya begitu terang benderang. Konon, ia disebut-sebut sebagai ancaman bagi beberapa maestro gitar seperti Eddie van Halen, Steve Vai, dan Yngwie Malmsteen. Ia sangat piawai memainkan repertoire milik Paganini, maestro biola, di atas fret gitar dengan tingkat akurasi yang sempurna, tetapi ia juga begitu mahir berselancar di atas blues, heavy metal, dan progresif rock. Tak heran bila ia dikagumi, dipuja, dan ditahbiskan sebagai gitaris masa depan oleh public rock.

Gitaris muda itu bernama Jason Becker. Karirnya melangit sejak bersama Marty Friedman hadir sebagai Cacophony, duo gitaris muda nan berbahaya. Serangkaian tur di sejumlah negara mereka jalani. Sukses besar mereka peroleh. Cacophony pun menjadi model dan bukti bahwa seorang shredder dapat hidup sejahtera di atas panggung rock. Namun, pada tahun 1989, Jason memutuskan untuk bersolo karir. Namanya justru semakin berkibar. Ia tidak hanya menjadi incaran para produser music rock, melainkan juga para produsen gitar dan amplifier.

Pada usia 20 tahun, Jason mendapat sebuah kesempatan yang luar biasa. Ia diminta bergabung dengan band yang dikomandani David Lee Roth, mantan vokalis superband Van Hallen. Tentu saja hal ini menjadi sebuah kesempatan sekaligus kehormatan bagi sang gitaris muda. Ia harus menggantikan posisi super gitaris Steve Vai yang hengkang untuk bersolo karir. Masa depan gitaris muda ini tampak terbentang terang. Banyak pihak memprediksi bahwa cepat atau lambat ia akan segera menggeser kedudukan Eddie van Halen sebagai King of Guitar.

Ya, Jason Becker hadir bak seorang pangeran yang sedang dipersiapkan untuk bertahta di kerajaan industri musik rock. Tiada seorangpun yang akan merasa keberatan dengan hal itu. Dan Jason memang layak untuk duduk di tahta tersebut. Bukankah musik rock selalu membutuhkan darah-darah segar? Akan tetapi, keyakinan itu tiba-tiba runtuh ketika pada suatu pagi di tahun 1990, kaki sang gitaris muda ini tiba-tiba tidak dapat digerakkan. Paramedis mendiagnosis bahwa ia menderita Amyotrophic Lateral Sclerosis. Diprediksi pula bahwa masa hidupnya tinggal 3 tahun lagi. Meski prediksi itu meleset, pada tahun 1997, Jason harus mengalami kelumpuhan total.

Benar, jari-jemari yang pernah bergerak lincah di atas fret itu kini terdiam. Sang pangeran kini hanya terkurung di dalam ruang kamarnya. Gitar-gitar saktinya telah digantung dan hanya menjadi sebuah jejak obituari. Namun, ia tidak terdiam meratapi nasibnya. Meski lumpuh, sepasang matanya tetap memancarkan semangat untuk hidup yang pantang menyerah. Sang ayah yang begitu setia menemaninya telah menciptakan sebuah alat yang disebut sebagai The Eye Communicate Becker System yang dapat membantunya bertahan hidup dan melewati hari demi hari dalam keheningan. Melalui alat itu, Jason justru dapat menciptakan komposisi-komposisi epik yang datang dari sebuah dunia asing dimana ribuan pasukan pengharapan berjaya atas kesedihan, ketakutan, dan kematian.

Ya, setelah mendengarkan sebuah lagunya yang berjudul Higher, saya melihat betapa luar biasanya Jason saat ini. Ada semacam blessing in disguise di balik kelumpuhan itu. Higher memang tidak lagi menampilkan akrobat gitar nan ciamik seperti yang terdengar dalam It’s Showtime atau Perpetual Burn. Lagu itu justru menghadirkan sebuah orkestrasi yang rapi dan sederhana yang di baliknya terlapisi emosi yang dewasa dan nada-nada bernyawa. Higher tidak menampilkan tangisan dan sedu-sedan, melainkan sebuah dunia yang dipenuhi semangat, optimisme, kekuatan, dan harapan.

Kini biografi kehidupannya telah menjadi sebuah inspirasi betapa kehidupan memang sungguh berharga untuk dipertahankan, untuk dikembangkan, dan untuk dibagikan. Rasa cintanya kepada keindahan dan keluhuran musik sebagai bahasa spiritual telah menyelamatkan dirinya dari keputusasaan hidup. Ketabahannya yang begitu besar mengundang simpati dan memunculkan persahabatan dengan banyak orang yang mendukungnya dalam dana, talenta, dan doa.

Saya sungguh belajar banyak dari kisah kehidupan Jason Becker. Bukan hanya sejumlah repertoire yang saya kagumi, melainkan sikap hidupnya yang pantang menyerah. Meski dalam kondisi lumpuh total, ia tetap berkarya. Ia tetap mencipta. Ia tetap menunjukkan kepada saya dan publik musik dunia bahwa musik yang paling indah adalah kehidupan. Musik ini tidak dapat dihancurkan meski raga telah keropos.

Kekuatan untuk hidup terus membuatnya tidak pernah mati dalam arti yang sesungguhnya. Kisah hidup Jason, bagi saya, adalah kisah orang kudus yang memperjuangkan kehidupan sebagai ruang iman dan harapan.  Selama ruang itu terisi, kehidupan adalah energi yang menghidupkan banyak jiwa yang patah dan lunglai. Terima kasih Jason. Tuhan memberkatimu selalu. 

Sumber gambar : www.impawards.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gary Moore dan Sebuah Ruang yang Kosong

Ritchie Blackmore: Ksatria Gitar dan Hutan Kesunyian

Yngwie Malmsteen, Faster than the Speed of Light!