Gary Moore dan Sebuah Ruang yang Kosong



Skånevik adalah pulau kecil yang hadir bagai sebuah puitika alam nan hening. Bersama angin yang berhembus perlahan, pohon-pohon perdu hijau yang memayungi pedesaan asri itu  berdansa Halling. Sejauh mata memandang, rumput di daerah ini tumbuh teratur bagai permadani kerajaan antah-berantah. Tatkala hari menjelang sore, di atas cakrawala, matahari enggan kembali ke peraduannya. Seolah sinarnya  tetap ingin bercengkrama dengan keramahan masyarakat Norwegia.

Namun, di sini, musik klasik yang membesarkan peradaban Barat modern, sudah begitu asing. Di pulau kecil ini, musik klasik telah diperdaya secara telak oleh musik Blues. Setiap tahun, di bulan Juli, sebuah festival blues tahunan diselenggarakan di Skånevik. Janganlah heran bila karena musik itu penduduk pulau ini lebih memuja sosok Gary Moore ketimbang Edvard Grieg, komposer asli Norwegia yang jenius.  Saking cintanya terhadap sosok gitaris dari Belfast, Irlandia Utara itu, mereka juga membuatkannya sebuah patung raksasa sebagai tanda apresiasi yang begitu besar terhadap musicianship yang dimiliki Gary Moore.

Patung raksasa itu dibangun pada tahun 2013, dua tahun setelah meninggalnya Gary Moore. Meski hanya hadir sebagai sebuah monumen di sebuah pulau terpencil, patung tersebut berbicara tentang kisah sunyi seorang virtuoso gitar. Dimulai dari sebuah pengalaman indah bersama sang ayah, Gary Moore kecil diperkenalkan pada sebuah band kecil yang selalu tampil setiap malam minggu di Belfast. Band yang memainkan lagu-lagu top 40 itu sangat menarik perhatiannya. Sang ayah yang berprofesi sebagai seorang promotor hiburan itu pun dapat segera menangkap ketertarikan puteranya. Maka, pada suatu malam, sang ayah pun mengizinkan puteranya untuk ikut menyanyi bersama band tersebut. Gary Moore yang masih berusia 6 tahun itu berani untuk menyanyi di hadapan publik meski ditopang oleh tumpukan kursi.

Baru pada usia sepuluh tahun, Moore mulai tertarik untuk bermain gitar. Tidak ada obsesi atau cita-cita lain setelah ia mengenal gitar. Ia hanya ingin menjadi seorang gitaris yang terkenal. Namun, perceraian sang ayah dengan ibunya membuatnya tidak dapat mempelajari gitar secara formal.  Meski begitu, Moore muda tidak putus asa. Ia tetap berusaha untuk mempelajari gitar secara mandiri melalui buku, majalah, dan teman-temannya. Gitar menjadi satu-satunya alasan baginya untuk terus bertahan hidup di tengah luka batin yang harus ia alami.

Dari sekian nama musisi yang ia kagumi seperti Jimi Hendrix atau John Mayall, Peter Green, gitaris sekaligus vokalis Fleetwood Mac, menjadi inspirator yang tampaknya paling dominan memengaruhi Gary Moore muda. Pada masanya Peter Green memang dikenal sebagai salah satu musisi blues kulit putih yang karismatik dan cukup disegani. Kelihaian yang ditunjukkan Peter Green sebagai musisi blues setidaknya terlihat pada tiga hal, lirik lagu yang begitu melankolis dan tragis, melodi-melodi yang begitu menukik dan tajam, serta cara menyanyi yang begitu khas dan berjiwa. Bagaimana gaya bermusik Peter Green menitis pada  Gary Moore terlihat begitu kuat pada Blues for Greeny (1995), album solonya yang secara khusus didedikasikan bagi sang inspirator. Di dalam album itu, semua karya Green seperti If You Be My Baby, Need Your Love So Bad, I Loved Another Woman, The Same Way, Merry Go Round, atau Looking for Somebody  ditafsirkan Moore secara apik dan prima, tanpa kehilangan jiwa aslinya.

Meski karir musiknya dimulai dari musik blues, Gary Moore dikenal cukup progresif. Bersama band yang pernah ia singgahi seperti Skid Row, Thin Lizzy, atau Colosseum II, ia memainkan berbagai genre musik rock, dari hard rock sampai heavy metal sekalipun. Ia bahkan sempat bermain jazz dan country. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa cakrawala musik Moore yang begitu luas itu justru kerap membingungkan para penggemarnya. Kendati begitu,  Gary Moore tetap dipandang sebagai sosok gitaris yang sangat mumpuni. George Harrison, gitaris band legendaris The Beatles, misalnya, pernah menyatakan rasa kagumnya kepada Gary Moore dalam sebuah wawancara eksklusif dengan majalah Guitar (November, 1992). Ia mengatakan bahwa Gary Moore adalah gitaris yang paling brilian setelah era Van Halen selesai. Menurut Harrison, di balik permainan gitar yang sangat begitu cepat, Gary Moore tetap dapat menunjukkan keakuratan nada, struktur, dan komposisi yang elegan. Ia menjadi sangat berbeda di antara para gitaris rock dan heavy metal masa kini yang kerap menawarkan warna suara yang serupa.

Some of guitarist have depth. The problem is that most guitarists in rock and heavy metal today all sound the same. Some of them can play amazingly fast, I admire that because I’m so slow.
You know, who I think is brilliant, just incredible, is Gary Moore. He can blow all that really fast stuff but his pitch is great and he’s so precise. Plus, he’s able to have structure and composition within that kind of madness.      

Kendati penjelajahan musiknya begitu luas dan kaya, sejak tahun 1990, Gary Moore akhirnya menetapkan musik Blues sebagai jalan hidupnya. Secara simbolis hal ini ditunjukkan melalui peluncuran album Still Got the Blues. Kabar ini tentu saja menggembirakan para penggemar musik Blues di tahun itu. Pasalnya, setelah musik alternatif yang ditawarkan grunge sukses menyingkirkan grup-grup rock dan heavy metal papan atas, tidaklah begitu mudah untuk menemukan seorang virtuoso gitar yang berdedikasi dan bersemangat. Ya, Gary Moore menjadi musisi yang dapat menyelamatkan martabat musik Blues pada waktu yang tepat. Namun, hal demikian tidak membuatnya jumawa.  Jam terbang yang begitu panjang dan cakrawala musik yang luas justru semakin menajamkan visi Gary Moore untuk menghadirkan musik Blues sebagai legenda hidup dalam masyarakat modern. Di setiap panggung yang ia kunjungi, musik blues hadir sebagai primadona, bukan lagi sebagai artefak masa lalu! Kendati kerap dianggap sebagai musisi yang berada di bawah bayang-bayang Peter Green, Gary Moore tetap diapresiasi sebagai salah satu ikon musik Blues yang sangat berpengaruh di zaman ini.

Namun, berbeda dengan ingar-bingar suara gitar yang disayatnya di atas ribuan panggung, Gary Moore adalah pribadi yang sunyi. Hal demikian sebenarnya telah terlihat begitu eksplisit dalam lagu-lagu yang ia bawakan sejak tahun 1979. Lagu-lagu seperti Empty Rooms, The Loner, Parisienne Walkways, Crying in the Shadow, Strangers in the Darkness, atau Still Got the Blues berbicara tentang kesepian, kehampaan, kekosongan, atau kehilangan yang dialami manusia modern. Dengan begitu jelas Gary Moore memberikan alasan bahwa semua itu terjadi karena perpisahan, baik karena percintaan yang kandas,  peradaban modern yang begitu kejam, maupun peperangan yang menghancurkan kemanusiaan. Akan tetapi bagaimana mungkin topik-topik tersebut menjadi fokus perhatian dari seorang maestro yang sering berdiri di tengah sorot lampu panggung, tepuk tangan, dan decak kagum para penonton? Saya sedikit curiga, topik-topik tersebut secara diam-diam berkaitan erat dengan bayang-bayang perpisahan kedua orang tuanya.  Apakah itu juga berarti bahwa kenangan traumatis yang ia alami terlanjur menjadi cetak biru bagi ekspresi musikalitas yang dihayatinya?

Patung raksasa Gary Moore yang berdiri tegak di Skånevik, pulau kecil yang hadir bagai sebuah puitika alam nan hening itu bisa jadi ingin menggambarkan apa yang sesungguhnya dialaminya. Sebuah patung yang elegan! Namun, di sana ia sendiri. Sepi. Sunyi. Mirip dengan melodi-melodi Blues yang ia hadirkan. Meski di atas panggung ia begitu dipuja dan disanjung, namun siapakah yang mampu memahami kesendiriannya? Kematiannya yang mendadak di sebuah hotel pada awal Februari 2011 pun terasa begitu sunyi. Tiada seorang pun yang mengetahui bagaimana pada saat itu malaikat maut masuk ke dalam kamar dan duduk di tepi ranjangnya. Sebuah sakratul maut yang sungguh hening. Sebuah Blues yang sesungguhnya!    
 
Gary Moore tidak akan hadir kembali di panggung manapun. Namun, dari jauh, melodi-melodi yang ia mainkan masih tetap bergema dan bergetar di dalam sanubari. Melodi-melodi itu tetap terbawa angin dan memenuhi sudut-sudut sanubari. Skånevik, pulau kecil yang hadir bagai sebuah puitika alam nan hening, adalah sebuah ruang kosong, seperti yang dilantunkan Gary Moore. Di tempat itulah kita harus belajar untuk hidup tanpa cinta.

Loneliness is your only friend.
A broken heart that just won't mend
Is the price you pay.

It's hard to take when love grows old.
The days are long and the nights turn cold
When it fades away.

….

Empty rooms
Where we learn to live without love.
Empty rooms
Where we learn to live without love.
Empty rooms
Where we learn to live without love.

(Empty Rooms, Gary Moore)

Sumber gambar :   www.cdandlp.com
   

Komentar

  1. Setiap kali ingin melunakkan kerasnya hati karena tajamnya hidup, maka lagu-lagu "sang penyendiri" selalu menjadi pelabuhan. Terimakasih atas tema dan tulisannya yang apik wahai tuan...

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ritchie Blackmore: Ksatria Gitar dan Hutan Kesunyian

Yngwie Malmsteen, Faster than the Speed of Light!