Eddie van Halen, Gitar, dan Kanker


Entah berapa kali, ia tersenyum di atas panggung itu. Jari-jemarinya terlihat begitu lincah, seolah sedang meloncat dari satu trampolin ke trampolin lainnya. Kadang jari-jemari itu menjerit dan meringkik seperti kuda liar. Kadang jari-jemari itu saling berkejar-kejaran gembira seperti gulungan ombak di pantai Panama. Kadang pula jari-jemari itu terdengar seperti bel gereja yang berdentang nyaring pada saat doa Angelus didaraskan para rahib. Tubuhnya juga bergoyang ke kanan dan ke kiri mengikuti dentuman drum yang ditabuh oleh sang kakak. Ia sering menggeser-geserkan sepasang kakinya dengan cepat sesuai dengan irama sehingga kaki-kaki itu tampak beroda. Namun, geraknya tidak hanya sampai di situ. Di penghujung solo guitar yang ia tampilkan, ia sering berlari kecil ke sudut panggung. Ia mengambil ancang-ancang untuk berlari dengan cepat ke arah sebaliknya. Setelah melesat, ia pun segera melompat. Tinggi. Tinggi sekali. Terkesan bahwa ia sedang terbang dengan gitarnya, Frankenstrat!

Itulah Edward Lodewijk van Halen. Namanya berbau Belanda karena ayahnya, Jan van Halen, memanglah orang Belanda totok. Sementara itu, ibunya adalah perempuan keturunan Indonesia yang lahir di Rangkas Bitung. Namun, orang Amerika dan budaya populer mengenalnya sebagai Eddie van Halen, seorang gitaris yang kerap dituduh sebagai orang yang bertanggung jawab di balik perubahan selera musik sejak akhir tahun 1970-an sampai pertengahan tahun 1990-an. Eddie van Halen telah membawa musik rock yang pamornya meredup di era pertengahan 1970-an ke jenjang yang lebih tinggi. Musik rock pada masa itu terjepit di antara gairah massa akan musik punk dan disco. Namun, lebih daripada itu, Eddie van Halen adalah orang yang bertanggung jawab atas munculnya kaum shredder dalam khazanah musik rock dan metal sampai hari ini. 

Meski ada begitu banyak teknik gitar yang diperkenalkan Eddie van Halen ke hadapan publik secara mempesona, ia sama sekali tidak pernah mau disebut sebagai seorang inventor. Ia merasa lebih nyaman untuk disebut sebagai inovator karena ia ingin membawa musik rock ke level yang lebih tinggi. Ia ingin memaksimalkan pencarian musik rock pada suara, pada tone yang ultimat. Untuk itulah, ia kerap membongkar sejumlah gitar dan amplifier. Ia melakukan inovasi dan penyesuaian agar suara dan karakter musik rock yang inginkan dapat terwujud.

Kendati demikian, dalam sebuah wawancara yang pernah diselenggarakan The Smithsonian dan Zocalo Public Square pada tahun 2015, Eddie van Halen juga pernah mengatakan bahwa inovasi yang ia lakukan itu sebenarnya didorong oleh ketidakmampuannya untuk membeli gitar atau amplifier baru yang harganya mahal. Frankenstrat, gitar legendaris miliknya, dibentuk dari berbagai komponen gitar bekas yang ia beli dengan harga murah. Selama bertahun-tahun, bersama sang kakak, Alex, ia harus merintis band yang mereka dirikan itu melalui sejumlah pertunjukan di berbagai panggung kecil dan terbatas seperti bar, sekolah, dan acara pesta privat dengan bayaran seadanya. Mereka meniti jalan seperti yang pernah dilakukan sang ayah tatkala mereka tiba di Pasadena, California sebagai kaum imigran dari Belanda. Ayahnya,Jan van Halen, adalah seorang pemusik profesional yang mencari peruntungan dari satu tempat ke tempat lain bersama para pemusik lain dalam sebuah Big Band. Di Amerika, Jan dan keluarganya harus menjalani kehidupan yang keras. Di luar aktivitasnya sebagai musisi, Jan bekerja sebagai tukang cuci piring, dan Eugenia, isterinya, bekerja sebagai pembantu. Sebagai orang tua, Jan dan Eugenia telah memberikan teladan kepada Eddie dan kakaknya untuk pantang menyerah dalam kehidupan ini.

Tidak dapat dimungkiri bahwa kerja keras yang ia lakukan itu telah menjadikan dirinya sebagai ikon musik rock dan sekaligus ikon musik populer di dunia. Namun, dunia rock yang glamor tidak selamanya menawarkan hal-hal yang gemilang. Beberapa kali Van Halen sebagai band harus juga berganti personil. Sejumlah lirik dalam lagu-lagu yang dimainkan Van Halen dianggap identik dengan pornografi oleh Parents Music Resource Centre yang ditelurkan oleh Tipper Gore. Karena gaya hidupnya yang tidak sehat, Eddie van Halen sempat menjalani rehabilitasi kecanduan alkohol dan obat-obat terlarang beberapa kali sampai pada akhirnya ia divonis oleh paramedis bahwa ia menderita kanker lidah. Vonis ini juga sempat membuat kehidupan pribadinya goncang. Puncaknya adalah pada tahun 2007 tatkala ia harus bercerai dengan isterinya, Valerie Bertinelli, karena perselingkuhan yang pernah dilakukan perempuan itu.

Namun, Eddie adalah sosok petarung yang tidak ingin jatuh lunglai dan kalah. Ia bangkit dan mulai menata kembali banyak hal yang pernah ia abaikan. Putera semata wayangnya, Wolfgang van Halen, hadir sebagai sebuah magic, sebuah pengharapan bagi Eddie van Halen untuk terus berkarya kembali, untuk terus melanjutkan hidupnya. Wolfgang yang menggantikan peran Michael Anthony sebagai basis Van Halen pun beraksi bersama sang ayah dan paman tercinta untuk menggelontorkan album terbaru yang berjudul A Different Kind of Truth (2012). Album ini seolah menandakan kebangkitan kembali seorang Eddie dan band Van Halen di blantika musik rock dunia.

Sejak kedatangan mereka di Pasadena, California, keluarga Jan van Halen memandang Amerika sebagai sebuah negeri yang menjanjikan pengharapan yang baru. Meski keprihatinan hidup harus mereka lalui selama bertahun-tahun, Jan dan isterinya, percaya bahwa di negara ini, kedua anak mereka itu dapat bertumbuh dengan baik. Jan juga percaya bahwa keterampilan musik yang diberikan kepada anak-anaknya dapat menjadi jalan yang mampu menghantarkan mereka untuk hidup layak. Kepercayaan ini jugalah yang tampaknya sungguh dihayati oleh Eddie dan Alex van Halen. Dan tentu saja, bagi Eddie, ayahnya adalah hero pertama dalam kehidupannya. Ketika ditanya oleh salah seorang penggemarnya mengenai pemusik handal yang akan ia ajak untuk berkolaborasi di masa depan, Eddie sempat terdiam sesaat. Lalu, ia pun menjawab dengan lantang. "I'd love to jam with my father again!"

Meski telah hadir dengan semangat yang baru, Eddie van Halen tidak terlena dengan kanker yang terus menderanya. Ia memang telah berupaya untuk keluar dari tekanan psikologis yang disebabkan oleh penyakit itu. Namun, kanker yang telah meluas ke tenggorokan dan otaknya itu ternyata lebih cepat bergerak dari dugaannya, hal yang sungguh tidak pernah mampu diantisipasi oleh keluarganya, sahabatnya, penirunya, dan pengagumnya yang setia. Tanggal 7 Oktober 2020 kanker itu menguasainya dan hari itu menjadi hari terakhir bagi Eddie van Halen, sang virtuoso dan the smiling guitarist.

Dalam keheningan penuh duka, sepenggal lirik yang pernah dinyanyikan oleh Sammy Hagar, mantan vokalis Van Halen, terdengar lamat-lamat dalam batin.
"And when it's over
I know how it's gonna be
And true love will never die
Oh, not fade away
And I can't stop lovin' you
No matter what I say or do
You know my heart is true
I can't stop lovin' you"

Selamat jalan King Eddie! Semoga niatmu untuk berkolaborasi dengan ayahanda, pemusik handal yang paling kau kagumi, akan segera terwujud di kehidupan selanjutnya. Requiscat in Dei.

Sumber gambar : https://www.pinterest.co.uk/pin/438186238727838453/


 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gary Moore dan Sebuah Ruang yang Kosong

Ritchie Blackmore: Ksatria Gitar dan Hutan Kesunyian

Yngwie Malmsteen, Faster than the Speed of Light!