Jimi Hendrix, Bukan yang Kita Kenal


Seandainya musik ngak-ngik-ngok tidak dilarang , mungkin Jimi Hendrix bisa tampil di Jakarta. Pada pertengahan tahun 1960 itu, bersama musik blues yang dibawanya, Jimi Hendrix memang seolah hadir sebagai representasi dari putera Amerika yang sejati. Ia dilahirkan di Seattle, Washington, Amerika Serikat. Dunia industri musik Amerika yang sedang mengembangkan sayapnya seolah menutup mata pada akar historis yang kelam yang menggelayuti warna kulitnya yang gelap. Jimi pun dibesarkan sebagai ikon pop culture yang fenomenal melalui sejumlah panggung terbuka yang dihadiri oleh ratusan orang muda. Ia diutus sebagai salah satu duta sihir agar anak-anak muda itu terninabobokkan dan tidak kritis pada negara. Di tahun-tahun itu, perang ideologi antara Blok Barat dan Blok Timur sedang memanas. Banyak anak muda Amerika dikirim ke hutan-hutan belantara Vietnam untuk membunuh orang-orang lain yang tidak pernah mereka temui.
Akan tetapi, Jimi tidak dapat berbohong pada hati nuraninya, pada kemanusiaannya. Ia melihat perang yang dihadapi anak muda Amerika itu hanya menjadi ladang pembantaian bagi mereka. Sebuah perang yang sungguh sia-sia. Namun, ia terikat dengan kontrak industri musik untuk terus menggemakan sikap antikomunisme dan menegakkan ideologi liberalisme yang diyakini mati-matian oleh para pengurus negara. Pada akhir tahun 1960, ia menjadikan musiknya sebagai pernyataan politik yang ia yakini. Jimi menunjukkan sikap resistensinya terhadap kebijakan pemerintah Amerika untuk terus melakukan invansi terhadap Vietnam dan mengirimkan para pemuda untuk mati sia-sia di hutan belantara yang tidak pernah mereka ketahui.
Musik yang digemakan Jimi, rock dan blues yang berisik -karena distorsi yang begitu keras, sebenarnya merupakan bentuk nyata dari budaya tandingan terhadap industri musik Amerika yang telah dipergunakan sebagai sarana penyebaran ideologi liberalisme dan kapitalisme pada akhir tahun 1960. Ia menghadirkan wajah Amerika yang berbeda dibandingkan wajah yang ditampilkan teks-teks kultural pada masa itu. Namun, hal itu bukan berarti bahwa Jimi menyetujui ideologi kiri sebagai ideologi yang tepat baginya. Tidak, Jimi tampaknya membenci kedua-duanya. Maka, ia pun lari ke mariyuana dan LSD, sebagai sarana yang mampu menghadirkan dunia alternatif, tempat pelariannya dari kenyataan.
Di akhir tahun 1960-an, Jimi memang semakin menggila. Komposisi musiknya menjadi begitu rumit dan ekspresif. Senar-senar gitar ia gigit sehingga menghasilkan suara-suara yang ganjil. Ia kadang berada dalam kondisi in trance dan jatuh tiba-tiba dalam keadaan tidak sadar. Ia juga semakin sering membakar gitar-gitarnya sebagai acara ritual yang begitu mistis di panggung pertunjukannya. Musik Jimi tidak lagi merepresentasikan ambisi kapitalisme yang dibalut ideologi liberalisme Barat, tetapi merepresentasikan kegundahannya, keprihatinannya, perlawanannya, rasa frustasinya, kegilaannya, dan juga pencarian spiritualnya. Musik yang ia mainkan secara terang-terangan adalah musik yang mengajarkan banyak orang untuk memikirkan kembali secara kritis American Dream yang ditawarkan negara. Dia tahu bahwa tidak ada hal lain yang dapat dilakukan di luar sana kecuali meneriakkan suaranya melalui gitar Fender yang penuh dengan distorsi. Dalam kondisi itu, kita dapat melihat bahwa secara esensial, musik yang ditawarkan Jimi tidak termasuk dalam kategori musik ngak-ngik-ngok yang dipahami Presiden Sukarno sebagai musiknya kaum imperialis. Jimi justru memberikan garis yang tebal pada musik blues yang dimainkannya sebagai musik perlawanan atas hegemoni politik Amerika pada masa itu.
Sayangnya, idolisasi Jimi Hendrix setelah kematiannya yang begitu mendadak itu cenderung tidak menempatkannya sebagai salah satu folk hero seperti Martin Luther King, yang hadir sebagai cahaya pengharapan akan kemanusiaan. Jimi hanya dibicarakan sebagai seseorang yang bertanggung jawab atas kehadiran musik rock di jagad industri musik populer. Ia dipuja-puja sebagai salah seorang dewa gitar. Ia menjadi ikon dari kesuksesan proyek kapitalisme musik tahun 1960-an. Ia dipajang sebagai pahlawan pop culture bagi kaum kulit putih dan juga kaum kulit hitam, lambang egaliterisme yang palsu. Akan tetapi, aktivisme dan pandangan politiknya yang terdapat di dalam sejumlah lagunya sama sekali tidak pernah diperhatikan dan dihadirkan sebagai parameter kritis untuk menilai Jimi Hendrix sebagai pahlawan bagi mereka yang ditekan dan disesah oleh kekuasaan imperialisme secara simbolis . Karena itu, semakin ia dikenang sebagai seorang selebritis musik Amerika, semakin hilang jejak resistensi dan pemberontakannya terhadap kekuasaan pada masa itu.
Setelah kematiannya, para epigonnya berusaha keras untuk mengikuti gaya permainan gitarnya yang unik. Mereka tidak paham bahwa kekuatan dan kharisma Jimi tidak terletak pada cara ia memainkan gitarnya, tetapi terletak pada pengelolaan batinnya terhadap keresahan dan kegundahannya pada kemanusiaan yang semakin renta karena perang, karena ideologi yang berbeda, karena ambisi kuasa. Musiknya adalah cerminan dari gugatannya terhadap realitas dunia yang sungguh getir dan menyakitkan.
Machine gun
Tearing my body all apart
Machine gun
Tearing my body all apart
Evil man make me kill ya
Evil man make you kill me
Evil man make me kill you
Even though we're only families apart
Well I pick up my axe and fight like a bomber
(you know what I mean)
Hey and your bullets keep knocking me down

Hey I pick up my axe and fight like a bomber now

Yeah but you still blast me down to the ground
The same way you shoot me down baby
You'll be going just the same
Three times the pain
And your own self to blame
Hey machine gun
Sumber gambar : https://www.tcm.com/

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gary Moore dan Sebuah Ruang yang Kosong

Slash, Sang Sweet Child

Yngwie Malmsteen, Faster than the Speed of Light!