Roy Buchanan : Telecaster dan Tragedi Blues

Musik Blues, pada galibnya, adalah jeritan hati yang tersayat derita. Dalam sejarahnya musik Blues hadir sebagai ekspresi kaum kulit hitam yang merindukan kebebasan dari perbudakan yang dilakukan kaum kulit putih di Amerika. Meski praktik perbudakan telah dihapus dan dianggap sebagai dosa yang memalukan, gemanya masih terdengar jelas dalam masyarakat modern. Namun, gema itu tidak lagi menjeritkan kemerdekaan yang terpasung, tetapi kerap meneriakkan hubungan cinta yang kandas, pengharapan yang hilang, kesepian, dan ketakutan manusia modern terhadap kemajuan peradaban. Dalam konteks ini, musik Blues tidak lagi dimaknai sebagai ekspresi, melainkan sebagai katarsis psikologis bagi manusia modern pula.

Roy Buchanan bukanlah pria berkulit hitam. Kendati begitu, pria yang dilahirkan di Arkansas, Amerika ini sangat dekat dengan musik gospel sejak kecil. Maklum, Roy dibesarkan dalam gereja Kristen Pentakosta yang banyak mengadopsi unsur musik blues yang pernah didendangkan para budak kulit hitam sebagai bagian dari lagu-lagu liturginya. Meski begitu, Roy tidak tertarik untuk lebih mencintai gospel. Sejak tahun 1950-an, ia lebih tertarik kepada blues. Ia ingin terjun ke dunia musik Blues populer. Demi cita-citanya, ia berani kabur dari rumah pada umur 15 tahun. Perjumpaannya dengan sejumlah musisi Blues baik di atas panggung maupun di dalam studio, termasuk Jimmy Hendrix, membuatnya semakin yakin bahwa ia perlu menampilkan jati dirinya secara orisinal. Tampaknya, jati diri yang dimaksudnya itu dapat ia temukan dalam musik Blues. Kontemplasinya terhadap musik itu cukup mendalam sehingga ia melihat dengan sangat antusias bahwa musik Blues adalah jalan hidup yang sesungguhnya!

Sebagai musisi yang terlatih oleh pengalaman, Roy begitu paham bagaimana musik Blues dapat dilantukan sebagai terapi spiritual bagi masyarakat Amerika yang frustasi dan depresi karena perang Vietnam. Dengan Fender Telecaster, yang dinamainya Nancy,  dan tone unik yang diciptakannya, Roy tampil sebagai pembangun moral bangsa Amerika. Meski tetap bernuansa kelam, lagu-lagunya berisi tentang optimisme dan pengharapan tentang masa depan yang lebih baik. Salah satu lagunya, The Messiah Will Come Again menampilkan sisi spiritual yang kuat mengenai masa depan sebagai waktu pemenuhan janji Tuhan. Dalam lirik yang dituturkannya, Roy menitipkan sebuah pengharapan, “I’ve walked in a lot of  places I never should’ve been, and I know that The Messiah, He will come again.”

Selain memiliki pesan yang sangat kuat, lagu The Messiah Will Come Again juga menampilkan kecerdasan dan kepiawaian Roy bermain gitar. Melalui tone yang ia tampilkan, terdengar serangkaian bunyi unik yang menggetarkan jiwa seperti suara orang yang merintih, burung elang yang berteriak, dan sejumlah bunyi emotif yang tidak terkatakan. Sejak ditemukan majalah Rolling Stone pada tahun 1971, Roy Buchanan ditahbiskan sebagai The Best Rock Guitar Picking in The World dan sebagai The Best Unknown Guitarist in the World. Ia dianggap berjasa bagi dunia musik karena mampu menerobos keterbatasan gitar elektrik selama ini. Tak heran bila ia menjadi acuan bagi gitaris legendaris macam Robbie Robertson, Jeff Beck, dan Garry More.

Pada awal tahun 1980-an nama Roy Buchanan semakin berada di puncak ketenaran. Namun, pada saat itu pulalah, karirnya merosot secara tiba-tiba. Ia tampak tidak memusatkan dirinya sebagai seorang selebritis. Pada tahun 1981, ia berpisah dengan Atlantic Record yang sempat membesarkan dirinya. Pada tahun itu juga, Roy sempat merilis album My Babe di bawah label AJK, yang tidak lebih baik dibandingkan Atlantic Record. Setelah itu, hampir selama 4 tahun, Roy tidak berkecimpung lagi di atas panggung. Ia merasa bahwa semakin lama ia semakin tidak dapat menemukan kebebasan artistik dalam bermusik. Gitaris yang pernah memperoleh penghargaan emas sebanyak 2 kali itu pun berjanji untuk tidak pernah kembali ke studio rekaman jika ia tidak dapat merekam karyanya dengan caranya sendiri.

Empat tahun kemudian, Roy kembali ke studio di bawah label Alligator. Pada kesempatan itu Roy mendapat kebebasan penuh untuk berkarya. Pada musim semi tahun 1985 Roy menelurkan sebuah album musik Blues yang berjudul When A Guitar Plays the Blues. Album idealis Roy ini ternyata laku keras di pasaran. Hal itu membuat Roy bergairah kembali untuk berkiprah di panggung musik. Setahun kemudian, 1986, ia sempat meluncurkan sebuah album mini yang berjudul Dancing on the Edge dan pada tahun 1987, album mini Hot Wires dirilis. Kedua album mini itu memperoleh sambutan yang luar biasa dari penggemarnya. Karir Roy tampak bersinar lagi!

Namun, di sebuah siang yang sangat terik, pada tanggal 14 Agustus 1988, gitaris yang kerap bertopi baret itu ditemukan tewas karena bunuh diri di Fairfax County Adult Detention Center. Konon, berdasarkan laporan polisi, Roy menggantung dirinya dengan baju yang dikaitkan pada jeruji jendela sepuluh menit setelah ditempatkan di sebuah sel karena kedapatan mabuk di tempat umum. Akan tetapi, beberapa tahun kemudian, kisah kematian Roy yang sesungguhnya mulai terkuak. Bahkan majalah Guitar Player Edisi September 1990 memuat kisah itu sebagai berita utama. Tersiar kabar bahwa tewasnya Roy bukan disebabkan oleh tindakan bunuh diri, melainkan oleh tindakan kejam yang dilakukan para aparat keamanan lokal di penjara pada saat itu.

Nasib Roy, sang pendekar Telecaster, tampaknya memang lebih mirip dengan musik Blues yang sangat dicintainya, penuh penderitaan dan aniaya yang berliku. Di satu sisi, Roy memang hadir sebagai sesosok musisi yang sangat religius, matang, dan bijaksana. Akan tetapi, di sisi lain, alkohol adalah setan yang masih begitu kuat membelenggu hari-harinya. Entah sudah berapa puluh kali, ia diusir oleh istrinya karena kerap kedapatan mabuk bersama teman-temannya.

Di luar keterbatasan manusiawinya kita juga tidak dapat menyangkal bahwa Roy memiliki kontribusi penting dalam sejarah perjalanan musik populer. Ia menjadi model dan teladan betapa gitar bukanlah sekadar instrument musik, tetapi juga berfungsi sebagai sarana untuk menyembuhkan hati yang terluka, menjeritkan ketertekanan, menularkan pengharapan, dan membuka kebebasan jiwa.

Roy, dedikasimu kepada dunia musik tidak pernah kami lupakan. Semoga saat ini, dalam damai, kau sedang melantunkan lagu-lagu gembira bersama Sang Mesias yang pernah kau tunggu kedatangannya.

Sumber gambar : yeech.altervista.org

  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gary Moore dan Sebuah Ruang yang Kosong

Slash, Sang Sweet Child

Yngwie Malmsteen, Faster than the Speed of Light!