Roy Buchanan : Telecaster dan Tragedi Blues

Roy
Buchanan bukanlah pria berkulit hitam. Kendati begitu, pria yang dilahirkan di
Arkansas, Amerika ini sangat dekat dengan musik gospel sejak kecil. Maklum, Roy
dibesarkan dalam gereja Kristen Pentakosta yang banyak mengadopsi unsur musik
blues yang pernah didendangkan para budak kulit hitam sebagai bagian dari
lagu-lagu liturginya. Meski begitu, Roy tidak tertarik untuk lebih mencintai
gospel. Sejak tahun 1950-an, ia lebih tertarik kepada blues. Ia ingin terjun ke
dunia musik Blues populer. Demi cita-citanya, ia berani kabur dari rumah pada
umur 15 tahun. Perjumpaannya dengan sejumlah musisi Blues baik di atas panggung
maupun di dalam studio, termasuk Jimmy Hendrix, membuatnya semakin yakin bahwa
ia perlu menampilkan jati dirinya secara orisinal. Tampaknya, jati diri yang
dimaksudnya itu dapat ia temukan dalam musik Blues. Kontemplasinya terhadap
musik itu cukup mendalam sehingga ia melihat dengan sangat antusias bahwa musik
Blues adalah jalan hidup yang sesungguhnya!
Sebagai
musisi yang terlatih oleh pengalaman, Roy begitu paham bagaimana musik Blues
dapat dilantukan sebagai terapi spiritual bagi masyarakat Amerika yang frustasi
dan depresi karena perang Vietnam. Dengan Fender Telecaster, yang dinamainya
Nancy, dan tone unik yang diciptakannya,
Roy tampil sebagai pembangun moral bangsa Amerika. Meski tetap bernuansa kelam,
lagu-lagunya berisi tentang optimisme dan pengharapan tentang masa depan yang
lebih baik. Salah satu lagunya, The Messiah Will Come Again menampilkan sisi
spiritual yang kuat mengenai masa depan sebagai waktu pemenuhan janji Tuhan.
Dalam lirik yang dituturkannya, Roy menitipkan sebuah pengharapan, “I’ve walked in a lot of places I never should’ve been, and I know that
The Messiah, He will come again.”
Selain
memiliki pesan yang sangat kuat, lagu The Messiah Will Come Again juga
menampilkan kecerdasan dan kepiawaian Roy bermain gitar. Melalui tone yang ia
tampilkan, terdengar serangkaian bunyi unik yang menggetarkan jiwa seperti
suara orang yang merintih, burung elang yang berteriak, dan sejumlah bunyi emotif
yang tidak terkatakan. Sejak ditemukan majalah Rolling Stone pada tahun 1971,
Roy Buchanan ditahbiskan sebagai The Best
Rock Guitar Picking in The World dan sebagai The Best Unknown Guitarist in the World. Ia dianggap berjasa bagi
dunia musik karena mampu menerobos keterbatasan gitar elektrik selama ini. Tak
heran bila ia menjadi acuan bagi gitaris legendaris macam Robbie Robertson,
Jeff Beck, dan Garry More.
Pada awal
tahun 1980-an nama Roy Buchanan semakin berada di puncak ketenaran. Namun, pada
saat itu pulalah, karirnya merosot secara tiba-tiba. Ia tampak tidak memusatkan
dirinya sebagai seorang selebritis. Pada tahun 1981, ia berpisah dengan
Atlantic Record yang sempat membesarkan dirinya. Pada tahun itu juga, Roy
sempat merilis album My Babe di bawah
label AJK, yang tidak lebih baik dibandingkan Atlantic Record. Setelah itu,
hampir selama 4 tahun, Roy tidak berkecimpung lagi di atas panggung. Ia merasa
bahwa semakin lama ia semakin tidak dapat menemukan kebebasan artistik dalam
bermusik. Gitaris yang pernah memperoleh penghargaan emas sebanyak 2 kali itu
pun berjanji untuk tidak pernah kembali ke studio rekaman jika ia tidak dapat
merekam karyanya dengan caranya sendiri.
Empat tahun
kemudian, Roy kembali ke studio di bawah label Alligator. Pada kesempatan itu Roy
mendapat kebebasan penuh untuk berkarya. Pada musim semi tahun 1985 Roy
menelurkan sebuah album musik Blues yang berjudul When A Guitar Plays the Blues. Album idealis Roy ini ternyata laku
keras di pasaran. Hal itu membuat Roy bergairah kembali untuk berkiprah di
panggung musik. Setahun kemudian, 1986, ia sempat meluncurkan sebuah album mini
yang berjudul Dancing on the Edge dan
pada tahun 1987, album mini Hot Wires
dirilis. Kedua album mini itu memperoleh sambutan yang luar biasa dari penggemarnya.
Karir Roy tampak bersinar lagi!
Namun, di
sebuah siang yang sangat terik, pada tanggal 14 Agustus 1988, gitaris yang
kerap bertopi baret itu ditemukan tewas karena bunuh diri di Fairfax County
Adult Detention Center. Konon, berdasarkan laporan polisi, Roy menggantung
dirinya dengan baju yang dikaitkan pada jeruji jendela sepuluh menit setelah ditempatkan
di sebuah sel karena kedapatan mabuk di tempat umum. Akan tetapi, beberapa
tahun kemudian, kisah kematian Roy yang sesungguhnya mulai terkuak. Bahkan
majalah Guitar Player Edisi September 1990 memuat kisah itu sebagai berita utama. Tersiar
kabar bahwa tewasnya Roy bukan disebabkan oleh tindakan bunuh diri, melainkan
oleh tindakan kejam yang dilakukan para aparat keamanan lokal di penjara pada
saat itu.
Nasib Roy,
sang pendekar Telecaster, tampaknya memang lebih mirip dengan musik Blues yang
sangat dicintainya, penuh penderitaan dan aniaya yang berliku. Di satu sisi,
Roy memang hadir sebagai sesosok musisi yang sangat religius, matang, dan
bijaksana. Akan tetapi, di sisi lain, alkohol adalah setan yang masih begitu
kuat membelenggu hari-harinya. Entah sudah berapa puluh kali, ia diusir oleh
istrinya karena kerap kedapatan mabuk bersama teman-temannya.
Di luar
keterbatasan manusiawinya kita juga tidak dapat menyangkal bahwa Roy memiliki
kontribusi penting dalam sejarah perjalanan musik populer. Ia menjadi model dan
teladan betapa gitar bukanlah sekadar instrument musik, tetapi juga berfungsi
sebagai sarana untuk menyembuhkan hati yang terluka, menjeritkan ketertekanan,
menularkan pengharapan, dan membuka kebebasan jiwa.
Roy,
dedikasimu kepada dunia musik tidak pernah kami lupakan. Semoga saat ini, dalam
damai, kau sedang melantunkan lagu-lagu gembira bersama Sang Mesias yang pernah
kau tunggu kedatangannya.
Sumber
gambar : yeech.altervista.org
Komentar
Posting Komentar