B.B. King, "When the King is Gone..."
Goodbye everybody,
I believe this is the end.
Oh, goodbye everybody,
I believe this is the end.
I want you to tell my baby,
Tell her please, please forgive me,
Forgive me for my sins.
Oh, goodbye everybody,
I believe this is the end.
I want you to tell my baby,
Tell her please, please forgive me,
Forgive me for my sins.
(Three O’Clock Blues,
B.B. King)

Nama
aslinya Riley B. King. Namun, setelah berkecimpung dalam dunia musik, ia
dijuluki B.B alias Blues Boy. Ia lahir di ladang penanaman kapas di Mississippi,
daerah yang dipenuhi sejarah rasialisme, pada tahun 1925. Ketika berusia 4
tahun, ia telah ditinggalkan sang ibu yang pergi bersama laki-laki lain. Di
bawah asuhan neneknya, King hidup dalam lingkungan relijius. Karena itu, ia
pernah tercatat sebagai anggota paduan suara di gerejanya. King sebenarnya
menyukai lagu-lagu gospel. Namun, King tidak dapat menekuni bidang itu. Ia
sudah terlanjur jatuh cinta dengan gitar. Dengan gitar itu, King pergi
berkelana keluar Mississippi, menjadi seorang penyanyi blues.
Pada
tahun 1960-an, nama King mulai diperhitungkan di panggung musik. Pada masa itu,
Amerika mulai membuka kesempatan bagi para pemusik kulit hitam untuk tampil dan
berkiprah. Namun, hal itu sebenarnya tidak terjadi secara kebetulan. Dalam
sebuah wawancara, King pernah menyatakan bahwa kesempatan itu sebenarnya dibuka
oleh penyanyi tersohor, Frank Sinatra.
Kesuksesan Sinatra mendorong sejumlah industri musik untuk menghadirkan warna
dan corak musik yang lebih segar dalam panggung musik, termasuk mengangkat para penyanyi kulit hitam sebagai
selebritis-selebritis baru.
King
sungguh menyadari bahwa ia tidak dapat melampaui Frank Sinatra atau Sammy Davis
Jr yang memang memiliki suara emas yang tidak dapat terbantahkan pada masa itu.
King hanya paham bahwa kecintaannya terhadap gitar dan musik blues menjadi
jalan yang dapat mengantarnya menuju kesuksesan. Bersama Lucille, gitar Gibson
kesayangannya, King berproses di jalur blantika musik populer. Kedua-duanya memang
tampak tidak bisa terpisahkan. King dan Lucille tampak telah sehati dan sejiwa.
Sesungguhnya terdapat peristiwa yang cukup menegangkan di balik nama Lucille
itu sendiri. Pada tahun 1949, pada saat King bermain di sebuah tempat di
Arkansas, terjadi perkelahian diantara dua orang laki-laki. Mereka memperebutkan
seorang wanita yang bernama Lucille. Perkelahian yang begitu sengit itu
ternyata mengakibatkan tempat pertunjukan terbakar. Ketika kebakaran terjadi,
King berusaha menyelinap masuk untuk menyelamatkan gitar Gibson yang ia cintai.
Kedua orang laki-laki itu tewas terbakar. Hal demikian sungguh sangat
disesalkan King. Maka, sebagai monumen agar peristiwa bodoh serupa tidak
terjadi lagi, ia menamakan gitar Gibsonnya sebagai Lucille. Bagaimanapun, dalam
lagu Lucille (1968) yang ia
nyanyikan, King menyatakan bahwa Lucille memiliki makna yang sungguh penting
bagi hidupnya. Ia tampak begitu bergantung padanya. “One more now, Lucille. Sounds pretty good to me, can I do one more?
Look out, Lucille. Sounds really good, I think I’ll try one more, all right.”
Tidak
dapat dielakkan bahwa masa kecilnya yang menyisakan kisah yang menyedihkan
sering memengaruhi sejumlah lagu yang ia lantunkan. Kerinduannya terhadap cinta
yang sejati adalah salah satu hal yang kerap ia teriakkan. Terkadang kerinduan
itu terdengar sebagai keinginan yang mengiba-iba, yang perlu dipenuhi segera
seperti yang terdapat dalam lagunya yang berjudul Help the Poor.
You are my inspiration
You could make me be a king
But if you don't come to my rescue
I couldn't ever be anything
You could make me be a king
But if you don't come to my rescue
I couldn't ever be anything
Help the poor, won't you help poor me
Have a heart won't you baby listen to my plead
Well I lost my courage till I found you
Have a heart won't you baby listen to my plead
Well I lost my courage till I found you
You got what it takes baby to pull me through
Help the poor, oh baby, won't you help poor me
I'm in trouble don't you see
Only your love can save me
Help the poor, help the poor
Only your love can save me
Help the poor, help the poor
King
menyadari bahwa ia memiliki kekayaan, ketenaran, dan nama besar dalam dunia
musik. Namun, ia juga menyadari bahwa ia sesungguhnya hanyalah orang yang
miskin. Secara mental, ia merasa tidak pernah sempurna karena ia tidak pernah
merasakan kasih sayang ibu yang sejati. Kasih sejati inilah yang menurut saya
selalu menjadi pencarian dan persoalan penting dalam lagu-lagunya.
Meski
begitu, dalam masa tuanya, King tampaknya begitu terbuka untuk mengampanyekan
cinta terhadap sesama sebagai hal ideal yang ia cita-citakan. King mampu
meredam sejenak pencarian masa lalunya dengan menawarkan spirit baru bagi masa
depan. Bersama sejumlah musisi yang usianya lebih muda, King meletakkan musik
blues sebagai musik bagi kemanusiaan. Saya begitu terkesan ketika King bermain
bersama dengan Eric Clapton dalam album Riding
with the King yang diliris pada tahun 2000. Kolaborasi kedua super gitaris
blues itu sangat luar biasa! Saya juga begitu terpesona ketika pada tahun 1988 King
berkolaborasi dengan Bono dan U2 menyanyikan sebuah lagu berjudul When Love Comes to Town. Lagu itu, menurut hemat saya, adalah sebuah
proklamasi keberpihakan King sebagai seorang selebritis dan figur publik dalam
percaturan sosial dan politik dunia.
Lagu yang sarat dengan pesan kemanusiaan ini mengajak pendengarnya untuk
kembali berpaling kepada cinta dan kasih sebagai spirit utama yang perlu
ditegakkan di masa depan. Saya sungguh tertarik pada bait akhir lagu ini. “I was there when they crucified my lord. I held the scabbard when the
soldier drew his sword. I threw the dice when they pierced his side, but I've seen love conquer the
great divide.” Cinta
mengalahkan segala permusuhan dan perang. Cinta menjadi jawaban bagi masa depan
kemanusiaan.
Sebagai
seorang musisi yang mapan, seharusnya King cukup berbahagia dengan masa tuanya.
Ia tidak perlu kembali naik ke atas panggung dan memainkan Lucille. Ia telah
memiliki segalanya. Namun, King memang membuktikan bahwa dalam musik tidak pernah terdapat batasan. Meski diabetes akut mendera fisiknya, jiwanya tidak
terkungkung sama sekali. Ia selalu
bergerak dan berkarya. Saya kira Tuhan memang telah menakdirkannya sebagai
seorang raja yang tidak pernah berhenti untuk mengabdikan dirinya bagi dunia
yang ia cintai. Tentu saja, karena itu, sangatlah wajar jika namanya telah
diabadikan jauh-jauh hari sebagai nama jalan di Indianola, Mississippi, tempat
ia menghabiskan masa kecilnya bersama sang nenek.
Beberapa
hari lalu, sang raja harus menemui Penciptanya. King meninggal sebagai seorang
maestro blues yang punya pengaruh penting dalam sejarah peradaban manusia.
Melalui musik yang ia lantunkan selama puluhan tahun, ia pun punya sumbangan
besar dalam diskursus kemanusiaan. Kesungguhan dan ketekunannya untuk memaknai
kehidupan adalah hal yang perlu diteladani darinya. Saya merasa bahwa kematian King
menjadi jawaban pencariannya akan cinta sejati selama ini. Ia telah bebas dari
trauma dan derita masa lalu. Ia telah merdeka dalam arti yang sesungguhnya. Hal
ini mengingatkan saya dengan satu bait syair yang pernah ia sampaikan dalam
lagunya The Thrill is Gone.
You know I'm free, free now baby
I'm free from your spell
Oh I'm free, free, free now
I'm free from your spell
And now that it's all over
All I can do is wish you well
I'm free from your spell
Oh I'm free, free, free now
I'm free from your spell
And now that it's all over
All I can do is wish you well
Terima
kasih King! Anda telah banyak berbagi kisah kehidupan dan merayakan pengalaman kemanusiaan bersama kami dalam
musik blues. Selamat jalan King! Semoga cinta sejati menyongsongmu di sorga.
Amin.
Sumber
gambar : www.aida-opera.com
Komentar
Posting Komentar