B.B. King, "When the King is Gone..."


Goodbye everybody,
I believe this is the end.
Oh, goodbye everybody,
I believe this is the end.
I want you to tell my baby,
Tell her please, please forgive me,
Forgive me for my sins.

(Three O’Clock Blues, B.B. King)


Di tengah ingar-bingar distorsi yang ditawarkan heavy metal dan thrash metal pada akhir tahun 80-an, saya mengenal B.B. King sebagai seorang gitaris blues yang sangat karismatis. Pengenalan saya mungkin terlambat. Namun, saya tidak pernah lupa bagaimana lagu When The Thrill is Gone yang ia nyanyikan dan lengkingkan di sebuah radio swasta membuat bulu roma saya bergidik. Vokal yang berjiwa, tone gitar yang jernih, teknik bending, dan vibrato yang luar biasa membuat saya terpana. B.B King menyadarkan saya bahwa musik blues adalah sumber kekuatan awal bagi musik rock, heavy metal, atau thrash metal! Baru beberapa tahun kemudian, saya dapat melihat sosoknya dalam sebuah video musik yang diputar di sebuah toko musik. Sungguh ia terlihat begitu tenang dan bersahaja. Namun, bahasa tubuhnya tampak begitu hidup. Mata yang selalu terpejam dan senyum yang selalu terulas mengiringi melodi berjiwa yang ia jentikkan.   

Nama aslinya Riley B. King. Namun, setelah berkecimpung dalam dunia musik, ia dijuluki B.B alias Blues Boy. Ia lahir di ladang penanaman kapas di Mississippi, daerah yang dipenuhi sejarah rasialisme, pada tahun 1925. Ketika berusia 4 tahun, ia telah ditinggalkan sang ibu yang pergi bersama laki-laki lain. Di bawah asuhan neneknya, King hidup dalam lingkungan relijius. Karena itu, ia pernah tercatat sebagai anggota paduan suara di gerejanya. King sebenarnya menyukai lagu-lagu gospel. Namun, King tidak dapat menekuni bidang itu. Ia sudah terlanjur jatuh cinta dengan gitar. Dengan gitar itu, King pergi berkelana keluar Mississippi, menjadi seorang penyanyi blues.

Pada tahun 1960-an, nama King mulai diperhitungkan di panggung musik. Pada masa itu, Amerika mulai membuka kesempatan bagi para pemusik kulit hitam untuk tampil dan berkiprah. Namun, hal itu sebenarnya tidak terjadi secara kebetulan. Dalam sebuah wawancara, King pernah menyatakan bahwa kesempatan itu sebenarnya dibuka oleh penyanyi tersohor, Frank Sinatra.  Kesuksesan Sinatra mendorong sejumlah industri musik untuk menghadirkan warna dan corak musik yang lebih segar  dalam panggung musik, termasuk mengangkat para penyanyi kulit hitam sebagai selebritis-selebritis baru.

King sungguh menyadari bahwa ia tidak dapat melampaui Frank Sinatra atau Sammy Davis Jr yang memang memiliki suara emas yang tidak dapat terbantahkan pada masa itu. King hanya paham bahwa kecintaannya terhadap gitar dan musik blues menjadi jalan yang dapat mengantarnya menuju kesuksesan. Bersama Lucille, gitar Gibson kesayangannya, King berproses di jalur blantika musik populer. Kedua-duanya memang tampak tidak bisa terpisahkan. King dan Lucille tampak telah sehati dan sejiwa. Sesungguhnya terdapat peristiwa yang cukup menegangkan di balik nama Lucille itu sendiri. Pada tahun 1949, pada saat King bermain di sebuah tempat di Arkansas, terjadi perkelahian diantara dua orang laki-laki. Mereka memperebutkan seorang wanita yang bernama Lucille. Perkelahian yang begitu sengit itu ternyata mengakibatkan tempat pertunjukan terbakar. Ketika kebakaran terjadi, King berusaha menyelinap masuk untuk menyelamatkan gitar Gibson yang ia cintai. Kedua orang laki-laki itu tewas terbakar. Hal demikian sungguh sangat disesalkan King. Maka, sebagai monumen agar peristiwa bodoh serupa tidak terjadi lagi, ia menamakan gitar Gibsonnya sebagai Lucille. Bagaimanapun, dalam lagu Lucille (1968) yang ia nyanyikan, King menyatakan bahwa Lucille memiliki makna yang sungguh penting bagi hidupnya. Ia tampak begitu bergantung padanya. “One more now, Lucille. Sounds pretty good to me, can I do one more? Look out, Lucille. Sounds really good, I think I’ll try one more, all right.”
  
Tidak dapat dielakkan bahwa masa kecilnya yang menyisakan kisah yang menyedihkan sering memengaruhi sejumlah lagu yang ia lantunkan. Kerinduannya terhadap cinta yang sejati adalah salah satu hal yang kerap ia teriakkan. Terkadang kerinduan itu terdengar sebagai keinginan yang mengiba-iba, yang perlu dipenuhi segera seperti yang terdapat dalam lagunya yang berjudul Help the Poor.

You are my inspiration
You could make me be a king
But if you don't come to my rescue
I couldn't ever be anything
Help the poor, won't you help poor me
Have a heart won't you baby listen to my plead
Well I lost my courage till I found you

You got what it takes baby to pull me through
Help the poor, oh baby, won't you help poor me
I'm in trouble don't you see
Only your love can save me
Help the poor, help the poor
    

King menyadari bahwa ia memiliki kekayaan, ketenaran, dan nama besar dalam dunia musik. Namun, ia juga menyadari bahwa ia sesungguhnya hanyalah orang yang miskin. Secara mental, ia merasa tidak pernah sempurna karena ia tidak pernah merasakan kasih sayang ibu yang sejati. Kasih sejati inilah yang menurut saya selalu menjadi pencarian dan persoalan penting dalam lagu-lagunya.

Meski begitu, dalam masa tuanya, King tampaknya begitu terbuka untuk mengampanyekan cinta terhadap sesama sebagai hal ideal yang ia cita-citakan. King mampu meredam sejenak pencarian masa lalunya dengan menawarkan spirit baru bagi masa depan. Bersama sejumlah musisi yang usianya lebih muda, King meletakkan musik blues sebagai musik bagi kemanusiaan. Saya begitu terkesan ketika King bermain bersama dengan Eric Clapton dalam album Riding with the King yang diliris pada tahun 2000. Kolaborasi kedua super gitaris blues itu sangat luar biasa! Saya juga begitu terpesona ketika pada tahun 1988 King berkolaborasi dengan Bono dan U2 menyanyikan sebuah lagu berjudul When Love Comes to Town.  Lagu itu, menurut hemat saya, adalah sebuah proklamasi keberpihakan King sebagai seorang selebritis dan figur publik dalam percaturan sosial dan politik dunia.  Lagu yang sarat dengan pesan kemanusiaan ini mengajak pendengarnya untuk kembali berpaling kepada cinta dan kasih sebagai spirit utama yang perlu ditegakkan di masa depan. Saya sungguh tertarik pada bait akhir lagu ini.  I was there when they crucified my lord. I held the scabbard when the soldier drew his sword. I threw the dice when they pierced his side, but I've seen love conquer the great divide. Cinta mengalahkan segala permusuhan dan perang. Cinta menjadi jawaban bagi masa depan kemanusiaan.

Sebagai seorang musisi yang mapan, seharusnya King cukup berbahagia dengan masa tuanya. Ia tidak perlu kembali naik ke atas panggung dan memainkan Lucille. Ia telah memiliki segalanya. Namun, King memang membuktikan bahwa dalam musik tidak pernah terdapat batasan. Meski diabetes akut mendera fisiknya, jiwanya tidak terkungkung sama sekali.  Ia selalu bergerak dan berkarya. Saya kira Tuhan memang telah menakdirkannya sebagai seorang raja yang tidak pernah berhenti untuk mengabdikan dirinya bagi dunia yang ia cintai. Tentu saja, karena itu, sangatlah wajar jika namanya telah diabadikan jauh-jauh hari sebagai nama jalan di Indianola, Mississippi, tempat ia menghabiskan masa kecilnya bersama sang nenek.   

Beberapa hari lalu, sang raja harus menemui Penciptanya. King meninggal sebagai seorang maestro blues yang punya pengaruh penting dalam sejarah peradaban manusia. Melalui musik yang ia lantunkan selama puluhan tahun, ia pun punya sumbangan besar dalam diskursus kemanusiaan. Kesungguhan dan ketekunannya untuk memaknai kehidupan adalah hal yang perlu diteladani darinya. Saya merasa bahwa kematian King menjadi jawaban pencariannya akan cinta sejati selama ini. Ia telah bebas dari trauma dan derita masa lalu. Ia telah merdeka dalam arti yang sesungguhnya. Hal ini mengingatkan saya dengan satu bait syair yang pernah ia sampaikan dalam lagunya The Thrill is Gone.

You know I'm free, free now baby
I'm free from your spell
Oh I'm free, free, free now
I'm free from your spell
And now that it's all over
All I can do is wish you well

Terima kasih King! Anda telah banyak berbagi kisah kehidupan  dan merayakan pengalaman kemanusiaan  bersama kami dalam musik blues. Selamat jalan King! Semoga cinta sejati menyongsongmu di sorga. Amin.

Sumber gambar : www.aida-opera.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gary Moore dan Sebuah Ruang yang Kosong

Ritchie Blackmore: Ksatria Gitar dan Hutan Kesunyian

Yngwie Malmsteen, Faster than the Speed of Light!