Criss Oliva dan Wajah Lain Musik Rock
Curlew Hills Memory
Garden memang tidak begitu jauh dari tengah kota Florida. Kompleks pemakaman
itu terlihat bagai taman yang asri dan temaram. Tampak berkelas sebagai sebuah
rumah peristirahatan terakhir. Tiada kesan angker sama sekali karena yang
tertanam di sana hanya menyisakan memori. Bukan teror atau ketakutan. Di
tengah-tengah taman itu, nama Christopher M. Oliva tertera tebal di atas nisan pualam. Tidak jauh dari situ sebuah rangkaian bunga berbentuk gitar Charvel putih berdiri kokoh.
Criss Oliva memang
tidak sepopuler Jimmy Hendrix, yang kerap dianggap punya pengaruh besar dalam
perjalanan musik rock dunia. Namun, Criss Oliva sungguh dimiliki masyarakat
Florida. Ia-lah the real guitar hero
bagi Florida. Namun, kematiannya yang begitu mendadak jelas menghancurkan hati
banyak orang yang mengaguminya. Karena ulah pengemudi yang tidak
bertanggungjawab, ia mati muda sebagai korban kecelakaan lalu lintas.
Criss Olivia
dibesarkan ketika Amerika tahun 80-an adalah Amerika yang penuh ingar-bingar!
Musik hard rock yang telah matang di Inggris pada awal tahun 70-an mulai
digandrungi! Semua remaja ingin menjadi rocker! Pasar rekaman musik rock pun
melonjak cepat! Banyak night club di sepanjang Los Angeles dan California sarat
dengan konser! Setiap malam para rocker muda yang sedang mencari peruntungan
datang dan pergi. Dan memang tdak mudah meniti jalan untuk menjadi rock star!
Namun bersama sang
kakak, Jon Oliva, Criss Oliva menjadikan tahun 80-an itu sebagai tahun penuh
kejayaan, tahun yang patut dibanggakan. Savatage, band yang mereka dirikan,
hadir sebagai salah satu hero dalam panggung musik heavy metal pada masa itu.
Tiada satupun halangan berarti yang membuat kiprah Savatage terhenti. Segalanya
berjalan mulus tanpa hambatan. Album demi album mereka telurkan dengan sangat
mudah. Seolah-olah Savatage memang telah ditakdirkan hadir sebagai penguasa
baru panggung musik rock!
Meski bebas tanpa
hambatan, dari waktu ke waktu Savatage tampak semakin matang. Seiring dengan
kesuksesan yang mereka raup, konsep yang dihadirkan Oliva bersaudara pun
semakin mutakhir. Setelah album Hall of
the Mountain King (1987), Oliva bersaudara bermetamorfosis sebagai para
komponis opera rock. Peranan Criss Oliva mulai sangat diperhitungkan oleh dunia
rock. Kejeniusannya yang terlihat dalam sejumlah lagu dalam album Hall of the Mountain King itu, tak
urung, memaksa Dave Mustaine, frontman Megadeth, untuk meminangnya sebagai
gitaris utama. Namun, pinangan itu secara halus ditolak Criss Oliva. Ia bersama
sang kakak, Jon Oliva, berketetapan untuk membawa Savatage jauh lebih ke depan
sebagai band rock progresif masa depan.
Langkah Savatage
ternyata merupakan sebuah lompatan yang tidak pernah terbayangkan. Publik rock
memberikan respon yang luar biasa. Album Gutter
Ballet yang diproduksi tahun 1989 sukses luar biasa. Permainan gitar Criss
Oliva menjadikan sejumlah lagu di dalam album itu sangat monumental. Melalui
sayatan gitarnya, lagu Gutter Ballet
yang memadukan unsur orkestrasi dan distorsi itu tampil begitu epik dan megah.
Criss Oliva tidak hanya berakrobat, tetapi justru menggiring lagu ke tingkat
harmonisasi yang lebih elegan. Pun dalam lagu When the Crowds Are Gone, melodi gitar yang dimainkan Criss Oliva
hadir sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari narasi lagu.
Beberapa hari ini,
saya mencoba mendengarkan kembali bagaimana melodi-melodi yang dimainkan Criss
Oliva dalam When the Crowds Are Gone bukan sekadar menjadi ilustrasi lagu, tetapi
justru menajamkan pesan lirik lagu ini. Kesan saya, melodi-melodi itu sedang
menawarkan sudut pandang lain dalam melihat kesedihan dan kesepian. Criss Oliva
tidak terjebak untuk ikut meratapi pertunjukan yang telah selesai dan para
penonton yang telah pergi. Melodi-melodi yang dimainkannya tidak jatuh kepada
nada-nada minor. Melodi-melodinya tampak didominasi oleh nada-nada mayor yang
justru mengajak kita untuk beranjak dan melompat dari situasi yang menyedihkan
menuju pengharapan yang lebih baik! Criss Oliva seperti sedang menawarkan
sebuah blessing in disguise bagi para
pendengarnya. Ya, benar saat ini kita sungguh sangat sedih dan merana ketika
segalanya harus berakhir, ketika segala yang kita miliki harus menghilang. Kita
meratap sejadi-jadinya. Namun, kesedihan itu cukuplah! Untuk apa dilanjutkan?
Segalanya toh telah berlalu. Ayo bangkit! Di sana matahari masih bersinar. Di
sana pengharapan masih terbentang luas.
Saya perlu mengakui
bahwa Criss Oliva adalah gitaris yang langka dalam panggung musik rock. Ia
tidak memperlakukan gitar sebagai asesoris, melainkan sebagai media pemikiran,
kehendak, dan ekspresi. Ia tidak terjatuh untuk diakui sebagai gitaris yang
pandai melakukan sirkus kecepatan jari. Pasalnya, ia telah menempatkan dirinya
sebagai seorang musisi yang terus-menerus mencari kedalaman. Setidaknya hal
demikian terlihat bagaimana dari waktu ke waktu musik yang diusung Savatage
terus berisi dan serius.
Saat ini Savatage telah berubah menjadi sebuah band teaterikal kolosal yang bernama Trans-Siberian Orchestra. Band yang dijalankan sang kakak, Jon Oliva, ini menghadirkan musik rock dalam kemasan orkestra yang bersentuhan dekat dengan sejumlah repetoire Christmas Carrol atau musik klasik. Kendati ia tidak sempat menikmati kesuksesan yang dicapai Trans-Siberian Orchestra, cita-cita Criss Olivia untuk menempatkan musik rock dalam posisi berkelas pun secara diam-diam telah terwujud. Ia paham bahwa di balik distorsi yang ditawarkan rock, ada kelembutan, kemegahan, ketulusan, dan kedalaman yang bertahta di dalamnya.
Terima kasih banyak Criss Oliva atas inspirasi dan semangat yang diberikan. Lagu-lagu Anda akan selalu didengarkan oleh mereka yang mencari makna kedalaman hidup di tengah kedangkalan zaman yang semakin menuntut. Semoga Anda selalu berbahagia bersama Allah Bapa di sorga. Salam metal! Amin.
Sumber gambar : www.sleazeroxx.com
Komentar
Posting Komentar