David Gilmour, Maestro yang Rendah Hati

David Gilmour
Bagi pencinta art rock, nama David Gilmour pasti tidak asing. Nama ini begitu identik dengan Pink Floyd, sebuah band legendaris dari Inggris. Hampir empat dasawarsa, Gilmour menjadi tulang punggung grup tersebut. Sebagai musisi, Gilmour dikenal sebagai  pribadi yang kerap tampil sederhana. Ia bahkan tidak tampak sebagai seorang selebritis kelas dunia. Sebagai seorang maestro gitar, ia tampak begitu bersahaja. Ia mengakui bahwa jari-jarinya tidaklah secepat para gitaris tahun 1970-an yang gemar melakukan banyak akrobat dan eksplorasi teknik. Dalam sebuah wawancara dengan HP Newquist dari majalah Guitar (Vol.12, Sept.1995), Gilmour dengan rendah hati menyatakan bahwa guitar skill yang dimilikinya berada jauh di bawah para gitaris Inggris lainnya seperti Jimi Hendrix, Eric Clapton, atau Jeff Beck. Meski begitu, di telinga saya, nada-nada blues yang selalu dijentikkannya di atas fret Fender Stratocaster 57 Vintage itu begitu dalam, kuat, dan berjiwa seperti yang terdengar dalam Comfortably Numb atau Learning to Fly.

Perjumpaan saya dengan Gilmour sebenarnya baru terjadi di akhir tahun 1980-an melalui tetangga saya, seorang mantan mahasiswa yang drop-out. Setiap sore, di depan rumahnya, dia selalu memainkan sebuah lagu yang cukup berisik, Another Brick in the Wall. Lagu ini ternyata dapat mengusik saya untuk sejenak meninggalkan Michael Jackson dan Stevie Wonder. Lagu ini justru membimbing saya untuk mengenali dan memasuki dimensi imaji musik yang ditawarkan Pink Floyd dan Gilmour lebih jauh. Beruntung, di sebuah toko persewaan video (VHS), saya dapat meminjam sebuah rekaman video konser Pink Floyd bertajuk The Dark Side of the Moon tahun 1974. Saya tidak pernah lupa bagaimana dalam konser yang dipadati begitu banyak fans Pink Floyd itu, Gilmour tampil sebagai superhero. Di hadapan ribuan penonton yang memadati stadion Wembley, London, gitaris muda ini tampak begitu kalem dan ekspresif, padahal nada-nada yang diteriakan dari gitarnya begitu menggigit dan garang.

Pertemuan Gilmour dengan Pink Floyd terjadi ketika ia masih berusia 21 tahun. Dan hal tersebut tidak terjadi secara kebetulan. Perjalanannya di dunia musik sudah dimulai ketika ia berumur 13 tahun. Di saat itu, ia memeroleh sebuah gitar sebagai hadiah ulang tahun dari tetangganya yang baik hati. Pada suatu saat, kegemarannya bermain gitar mengantarkannya untuk berteman dengan Syd Barret, gitaris awal Pink Floyd yang sangat flamboyan.  Sebetulnya, mereka berdua adalah siswa di sekolah yang sama yaitu Cambridge Technical College. Karena Barret mulai tidak aktif bermain musik, Gilmour mau tidak mau harus menggantikan tugas Barret sebagai gitaris utama.

Bersama Pink Floyd, Gilmour mendulang sukses besar. Selama hampir dua dekade, mereka telah mengadakan ratusan konser di sejumlah negara. Gilmour tidak hanya membawa Pink Floyd sebagai band rock yang populer, melainkan juga band rock yang visioner. Lagu-lagu yang ditulisnya, menurut hemat saya, tidak hanya menampilkan estetika musik yang megah dan elegan, tetapi juga merefleksikan kedalaman intelektualitasnya. Hal ini terlihat melalui tema-tema lagu Pink Floyd yang menampilkan beberapa isu filsafat seperti eksistensialisme, nihilisme, metafisika, dan (post)modernisme yang dikemas dalam bahasa sehari-hari. Beberapa isu filsafat yang mampir ke dalam lirik-lirik lagu Pink Floyd ini, boleh dikatakan, menjadi cara bagaimana Gilmour membaca kemanusiaan.

Ketika masih menjadi mahasiswa, saya sempat mengkaji dan mencermati kembali lirik lagu Another Brick in The Wall (Part II) yang ditulis Gilmour sebagai berikut.

We don't need no education
We don't need no thought control
No dark sarcasm in the classroom
Teachers leave them kids alone
Hey teacher leave them kids alone
All in all it's just another brick in the wall
All in all you're just another brick in the wall

Meski lirik ini cukup ringkas sebagai sebuah lagu yang megah dan elegan, saya sungguh terpesona dengan heroisme Gilmour dan Pink Floyd untuk menyuarakan penolakannya terhadap sistem pendidikan di Inggris (dan negara-negara lainnya). Lirik yang disuarakan Gilmour tampak setajam gagasan mengenai Deschooling Society yang dilontarkan oleh seorang filsuf pendidikan asal Austria, Ivan Illich. Dalam hal ini, saya memperoleh kesan bahwa Gilmour memandang pendidikan yang disampaikan di sekolah bukan sebagai sarana untuk membebaskan diri, melainkan sebagai sarana untuk membelenggu para murid agar kelak dapat menjadi para pekerja dan buruh yang taat pada sistem industri kapitalisme yang begitu akut! Sungguh, lagu ini menjadi semacam anthem yang begitu epik bagi penyadaran masyarakat modern. 
    
Sebagai tanda apresiasi, kerajaan Inggris pun pernah memberikan gelar kebangsawanan bagi para personil Pink Floyd atas prestasi luar biasa yang mereka peroleh. Karena itu, tidaklah berlebihan bila banyak orang mulai menyandingkan Pink Floyd dengan band besar The Beatles atau The Rolling Stones. Akan tetapi, di balik kesuksesan itu, sebenarnya ada kisah rivalitas yang cukup sengit antara Gilmour dan Roger Waters, sang basis, vokalis, sekaligus penggagas Pink Floyd. Rivalitas ini bahkan pernah berujung di pengadilan ketika Waters memperkarakan nama band yang digagasnya sebagai kekayaan intelektual yang dimilikinya. Kendati demikian, di balik rivalitas itu, Gilmour tetap memperlakukan Waters sebagai teman dekatnya.

Dalam usianya yang tidak muda lagi, Gilmour tetap menampilkan dirinya bukan hanya sebagai seorang gitaris, melainkan musisi yang memiliki totalitas sebagai bagian kehidupan sehari-hari. Pria yang dibesarkan dari keluarga pendidik ini dikenal pula sebagai figur yang cukup akrab dengan para musisi tua dan muda. Dalam setiap proyek sosial yang dilakukannya bersama Pink Floyd, Gilmour selalu melibatkan sejumlah musisi ternama untuk memberikan suguhan yang terbaik kepada pencinta karya-karyanya. Bahkan ia tak segan-segan untuk melepaskan bagian solo atau rhythm kepada para musisi yang jauh lebih piawai daripadanya. Karena itu pula, di dalam saku bajunya, ia selalu menyimpan sebuah buku kecil yang menyimpan daftar para musisi yang dapat membantunya. Saya berharap nama saya pun ada di situ (sic!) Teruslah berkarya, Sir Gilmour!

Sumber gambar : http://uniqueguitar.blogspot.com/2013_06_01_archive.html

Komentar

  1. Tulisan yang keren....tapi ralat dikit ya Jimi Hendrix bukan dari Inggris...tapi dari Seattle USA...hehe

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gary Moore dan Sebuah Ruang yang Kosong

Ritchie Blackmore: Ksatria Gitar dan Hutan Kesunyian

Yngwie Malmsteen, Faster than the Speed of Light!