Slash, Sang Sweet Child

Slash
Siapa yang tak kenal Slash? Gitaris keriting kelahiran Hampstead, London ini, menurut saya, termasuk salah seorang musisi yang patut bertanggungjawab atas wabah musik rock pada awal tahun 1990-an. Bersama dengan bandnya, Guns’n’Roses, Slash menjadi ikon musik rock yang paling disegani. Gaya hidup, musik, dan pemberontakan yang mereka tawarkan  menjadi epos yang menarik bagi remaja di usia pubertas. Karena itu, tak heran bila selain album-album yang dirilis Guns’n’Roses, beberapa remaja juga mengoleksi poster-poster besar yang menampilkan figur gitaris itu bersama gitar Gibson Les Paul atau sejumlah ular phyton peliharaannya! Saya ingat, bagaimana poster-poster besar itu sempat pula membuat ayah dan ibu saya khawatir akan  masa depan yang akan saya jalani.

Perjalanan Slash dan Guns’n’Roses adalah legenda yang tidak dapat diulang. Begitu cepat, mereka meroket dan menjadi fenomena luar biasa, tapi begitu cepat juga, mereka berpisah dan menghilang begitu saja. Puncaknya adalah pada tahun 1996 ketika Slash memutuskan keluar dari band pujaan remaja dunia itu. “I am done!” Itu kalimat terakhir yang diucapkannya kepada Axel Rose, sang vokalis

Kendati begitu, dalam berbagai wawancara, Slash selalu menyatakan bahwa kepergiannya dari Guns’n’’Roses sama sekali tidak berhubungan dengan perangai dan karakteristik Axel. Kepergiannya itu disebabkan oleh hilangnya roh bermusik dalam band yang  mereka bentuk bersama di Los Angeles pada tahun 1985 itu. Di samping itu, menurutnya, Axel tampaknya secara eksklusif ingin menguasai band yang pernah digelari oleh media sebagai band paling berbahaya di dunia ini sebagai miliknya semata. Meski Slash berusaha untuk tidak menunjukkan pertentangan dirinya dengan Axel, media mencatat bahwa sejak lama, memang sudah terjadi perang dingin di antara kedua ikon rock itu.          

Slash atau Saul Hudson dibesarkan dalam keluarga seni. Kedua orangtuanya adalah pekerja seni. Namun, setelah mereka bercerai, Slash dibesarkan oleh sang nenek. Sebagai buntut dari perceraian itu, Slash menjadi pribadi yang cenderung eksentrik, tertutup, dan antisosial. Namun, kondisi demikian  tidaklah lama dijalaninya. Di usia 14 tahun, hidupnya mulai berubah ketika secara tidak sengaja ia mendengarkan lagu yang dinyanyikan Aerosmith. Semangatnya begitu bergejolak setelah mendengarkan band rock asal Boston Amerika era 1970-an ini. Apalagi, setahun kemudian, sang nenek memberinya sebuah gitar sebagai hadiah. Sejak itu, Slash mulai mendengarkan  banyak lagu rock yang dinyanyikan Led Zeppelin, Rolling Stones, Jimi Hendrix, Eric Clapton, dan Jeff Beck.  Ia pun mulai mengunci kamarnya untuk berlatih selama 12 jam setiap hari dan setelah itu ia mulai berani untuk bermain di sejumlah band.    

Meski menguasai gitar secara otodidak, Slash mengakui bahwa kerja keras, spontanitas, dan keinginan untuk selalu menyempurnakan diri sangat diperlukan bagi para gitaris. Menurutnya, spontanitas merupakan jiwa rock sesungguhnya. Tanpa spontanitas, rock menjadi hambar dan tidak berguna. Artinya, jika riff sebuah lagu rock mulai dibakukan, hal itu secara tidak langsung telah mengurangi makna lagu itu. Slash mengakui bahwa Riff Sweet Child O’Mine pernah menjadi mimpi buruk baginya di setiap konser Guns’n’ Roses. Pasalnya, ia harus mulai menghitung berapa banyak nada yang harus dibunyikan dalam ketukan tertentu. Menurutnya, riff lagu ini diciptakan secara spontan  di saat senggang setelah latihan. Namun, Slash tidak menyangkal bahwa lagu ini jugalah yang paling ia sukai selama karir perjalanannya bersama Guns’n’ Roses karena melodi-melodi yang ia mainkan memiliki jiwa yang sungguh kuat.

Selama berkarir di dunia musik, Slash tampaknya melihat ada perbedaan yang cukup signifikan antara menjadi gitaris yang baik dan menjadi anggota band yang baik. Untuk menjadi seorang gitaris sekaligus pemusik yang baik, Slash merekomendasikan agar berbagai jenis musik dapat juga didengarkan para gitaris muda. Hal demikian sangat beralasan karena  Slash begitu menyukai musik klasik dan sejumlah lagu pop yang dilantunkan para musisi seperti Joni Mitchell, Cat Stevens, Carole King, Chaka Khan, dan Stevie Wonder. Itulah mengapa, Slash begitu mudah bekerja sama dengan para penyanyi seperti  Ray Charles, Michael Jackson, Rihanna, atau Ozzy Osborne. Namun, untuk membentuk sebuah band yang solid,  sebagaimana pernah dinyatakan Slash dalam sebuah wawancara yang dilakukan John Stix dalam majalah Guitar (November, 1992), diperlukan kebersamaan yang erat dan keinginan untuk selalu bermain musik bersama.    


Slash kini adalah Slash yang tampil dengan semangat dan energi yang baru. Dengan bantuan beberapa sahabat, ia mulai bersolo karir, menciptakan musik. Album solonya yang  diluncurkan pada tahun 2012, Apocalyptic Love, disambut dengan sangat antusias oleh para penggemarnya. Kini bersama Myles Kennedy & The Conspirators, ia kembali menggoncang panggung rock. Dan seiring dengan kematangan hidupnya, pencinta gitar Gibson ini tidak lagi mengonsumsi obat terlarang atau alkohol. Rokok Marlboro atau Galatinos yang kerap dihisapnya di setiap konser pun telah ditinggalkan. Setidaknya gaya hidup rockstar yang pernah ia jalani di masa lalu menjadi pelajaran berharga di masa depan. Ia sungguh mensyukuri kehidupan ini, sebagaimana pernah ia tuturkan ketika band Guns’n’Roses versi orisinal menerima penghargaan Rock’n’Roll Hall of Fame 2012. Slash, sang dewa gitar, itu  kini menjadi Sweet Child. Ia kerap terlihat bercengkrama bersama isteri dan anak-anaknya di Sunset Boulevard, dan terlibat aktif dalam kampanye lingkungan hidup. Anak yang hilang itu telah kembali! Selamat datang, Slash!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gary Moore dan Sebuah Ruang yang Kosong

Ritchie Blackmore: Ksatria Gitar dan Hutan Kesunyian

Yngwie Malmsteen, Faster than the Speed of Light!